Sumba masih panas menyengat seperti hari-hari sebelumnya. Saat
melewati sebuah gedung SD, segerombolan anak beramai-ramai memanggilku
‘Ibu Islam! Ibu Islam!’. Seketika saya bangga dengan jilbab ini
. Panggilan polos itu hanya mampu saya jawab dengan senyum dan lambaian
tangan, balas menyapa. Mengagetkan, mereka berdatangan menyalamiku
sambil berucap ‘Assalamu’alaykum’ dengan logat lucu, malu-malu.
Saya pun menyalami satu persatu anak-anak itu sambil sesekali
mengelus rambut merah keriting mereka. Mereka memang anak desa tanpa
listrik, lahir dan hidup di Provinsi termisikin di Republik ini. Tapi
senyum mereka sama tulusnya dengan senyum anak kecil di manapun. Dengan
seragam lusuh, bertelanjang kaki, dan menenteng tas kresek berisi
beberapa buku sekolah, mereka berteriak-teriak berdesakan menghampiri
saya. Saya pun jatuh cinta lagi
Setelah puas berbagi beberapa permen yang ada di tas, saya berpamitan
untuk melanjutkan perjalanan siang itu. Senyum lebar mereka rasanya
lengkap ketika mereka berteriak ‘Assalamu’alaykum Ibu Sukma Islam’.
hehehe…Saya semakin jatuh cinta sedalam-dalamnya.
Hari itu, target responden saya adalah sebuah rumah tangga yang
memiliki 8 orang anak usia sekolah. Keluarga ini adalah keluarga
terpandang di kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur. Keluarga ini memiliki
jumlah ternak yang luar biasa banyaknya, ada sekitar 300 sapi dan 200
kuda yang mereka urus setiap harinya
Hewan ternak sebanyak itu memang bukan ternak konsumsi. Sapi, kerbau,
dan kuda di Sumba menjadi investasi adat yang juga menjadi prestise
untuk pemiliknya.
Setelah berkenalan dengan mama pemilik rumah, saya disuguh sirih
pinang dan kopi pekat yang masih mengepul. Sampai pada sang mama
bercerita, anaknya ada 8 orang. Anak tertuanya usia SMP yang sudah putus
sekolah sejak lulus SD. Begitu juga dengan seorang adiknya. Sedangkan 4
anak lainnya sekarang duduk di bangku SD, 2 lainnya masih belum
sekolah.
Saya : “kenapa adik-adik tidak melanjutkan sekolah ma? bukankah sekarang SMP pun sudah gratis?”
Mama : “iya, mereka sampai menangis minta masuk SMP. Tapi, kalau anak saya semuanya sekolah, siapa yang urus sapi dan kuda?”
Saya : *terdiam mencoba mengerti, lalu melanjutkan pendataan.
Di Sumba, setiap upacara adat mulai dari perkawinan dan kematian, ada
ratusan ekor ternak yang harus disediakan oleh sang punya gawe. Untuk
setiap upacara yang diadakan warga, minimal ada 100 ekor sapi dan
puluhan kuda untuk jadi syaratnya. Jika syarat belum terpenuhi
jumlahnya, upacara adat pun tak akan digelar. Pemuda yang ingin menikah
harus lebih bersabar, atau bisa dengan jalan menyicil. Sedangkan jenazah
pun harus disimpan dulu, menunggu keluarga mampu menyediakan semua
syarat itu.
Kebutuhan adat yang begini besar ternyata menjadi batasan untuk hak
pendidikan anak-anak di sana. Para orang tua pun lebih takut tidak bisa
menyediakan kebutuhan adatnya daripada anaknya tak sekolah. Sebagian
besar masih seperti itu. Semakmur-makmurnya keluarga di Sumba,
mainstreamnya masih sama. Sudah bisa baca, tulis dan berhitung, itu
sudah cukup.
Pulang dari rumah mama, saya berjalan kaki dan sekali lagi melewati
SD yang tadi. Kini sekolah telah sepi ditinggal pulang murid-muridnya.
Saya yakin, semua anak-anak lucu tadi pasti lebih ingin duduk belajar
di sekolah daripada menunggu sapi-sapi makan rumput. Saya pun yakin,
mereka pasti lebih memilih berseragam putih biru daripada bertelanjang
dada sambil memecut ratusan hewan ternak. Tapi ketika mereka dihadapkan
pada satu-satunya jalan, menjadi penggembala, mereka pun tak memusuhi si
sapi. Mereka akan memastikan sapi-sapinya kenyang sebelum masuk kandang
sore nanti.
Perjalanan sore tak begitu terik lagi. Jalanan desa saya susuri
sambil sesekali mengarahkan kamera ponsel ke bentangan jalan di depan
mata. Sesampai di rumah yang menjadi basecamp kami, saya pun mengirim
sms pada mamah di rumah. “Mah..alhamdulillah yaa.. sayang mamaah “
Mamah : “kangen yo nduk?”
dalam hati : “sukma, mulai sekarang juga hentikan keluhan tentang apapun”
sumber ; http://soulofsukma.blogspot.com
Selasa, 09 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar