oleh Felix Felicis-Awang Praing (siswa Sma 1 kupang)
Pendidikan merupakan hal yang kompleks bagi kehidupan manusia dan
perkembangan peradabannya. Pendidikan tidak saja memainkan peran penting
dalam mencerdaskan manusia secera intelektual, tetapi juga merupakan
sarana pembentukan sejati berkarakter baik, bermoral, berwawasan luas
serta ‘penyetaraan’. Hal yang terakhir ini sangat jarang dibahas.
Penyetaraan yang saya maksudkan di sini adalah peran pendidikan dalam
memberikan kesamaan dan kesetaraan manusia dalam hal martabat dan
kedudukan sosial di masyarakat. Untuk memberi pemahaman kepada
teman-teman dan ibu guru mengenai ‘penyetaraan’ yang saya maksudkan,
saya mengambil sebiah contoh yang nyata, dahulu pada masa kolonial
Belanda, perempuan dilarang bersekolah agar perempuan tidak bisa melawan
pemerintah kolonial Belanda layaknya laki-laki. Namun, ketika Raden
Ajeng Kartini berjuang untuk pendidikan kaum perempuan, maka lahirlah
perjuangaan-perjuangan dari kaum wanita untuk melawan Belanda baik
secara diplomatis maupun fisik (pertempuran). Di antara mereka ada
Christina Martha Tiahahu, R.A Kartini dan masih banyak lagi. Di sini
kita melihat bahwa pendidikan dapat memberikan penyetaraan antara
kedudukan perempuan dan laki-laki.
Namun, bagaimana jika pendidikan dianggap sebagai sarana meninggikan
diri bukan untuk tujuan mulia untuk memajukan bangsa ini? Inilah
fenomena yang sering dihadapi dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini.
Pelaku pendidikan kadang saling tidak menghargai dan menganggap dirinya
tinggi karena gelar akademik yang disandangnya atau karena
jurusan/progdi pilihannya merupakan jurusan favorit. Pendidikan tidak
lagi difungsikan sesuai dengan tujuan utama pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana penyetaraan umat manusia malah
menjadi sarana untuk menindas dan merendahkan sesama. Orang yang
bergelar tinggi tidak menghargai orang lain yang mempunyai gelar di
bawahnya atau mungkin tidak bergelar akademik. Tindakan-tindakan ini
kita kenal dengan istilah yang disebut DISKRIMINASI.
Dalam membahas masalah ini lebih dalam, maka ada baiknya saya akan
melihat dari lingkungan kehidupan kita sebagai pelaku pendidikan di SMA.
Diskriminasi di SMA bukanlah hal baru, malah telah menjadi fenomena
lama yang tidak pernah disadari oleh pelakunya Jurusan sering menjadi
tolak ukur pandangan seorang guru terhadap siswa. Sehingga terkesan guru
itu pilih kasih terhadap siswanya. Jurusan yang paling sering
didiskriminasi adalah jurusan IPS, sering dianggap memiliki masa depan
suram karena lapangan pekerjaan yang tersedia sedikit, kumpulan
anak-anak nakal dan tidak bisa diatur. Jurusan Bahasa sering dianggap
sebagai jurusan “buangan” yang anak-anaknya tidak mampu di IPS maupun
IPA. Sedangkan jurusan IPA dianggap sebagai kumpulan anak-anak jenius
bermasa depan cerah, dan kumpulan anak-anak alim. Yang lebih parah lagi,
kadang statment tersebut kelur dari mulut seorang guru. Padahal menrurt
Dorothy Law, seorang pakar psikologi terkenal masa ini, bahwa statement
yang keluar dari mulut orang-orang terdekat sorang siswa seperti teman,
guru dan orang tua, sangat mempengaruhi kejiwaan dan keberhasilan
siswa, sehingga kata-kata yang keluar harusnya kata-kata yang membangun
bukan MENJATUHKAN atau MENGHINA. Itu malah akan membentuk siswa menjadi
nakal, bahkan brutal. Menurut Dorothy Law, tindakan-tindakan yang
membagi-bagi kasih sayang bagi siswa itu merupakan diskriminasi. Malah
secara psikologi, tindakan itu tergolong kajahatan karena merusak
karakter dan masa depan siswa. Guru yang adalah pembentuk karakter dan
fasilitator dalam dunia pendidikan TIDAK PANTAS melakukan tindakan
diskrimatif tersebut.
Saya masih mengingat kata-kata seorang guru favorit saya, “Jika
anda ingin menjadi seorang pemimpin sukses belajarlah ilmu sosial, jika
anda ingin menjadi orang ilmuwan belajarlah ilmu alam, jika anda ingin
menjadi orang bebas berkarakter belajarlah ilmu lingusitik (bahasa).
Belajar sesuai potensi dan prospek yang anda bukan sekedar ikut-ikutan”.
Kata-kata guru saya ini, benar-benar membuka mata saya bahwa pendidikan
bukan formalitas namun suatu sarana pembentuk karakter dan potensi
manusia. Setiap ilmu memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan
manusia. Saling melengkapi, sama derajat dan sama pentingnya. Tanpa ilmu
alam tidak akan ada teknologi yang membantu kehidupan manusia. Tanpa
ilmu sosial tidak akan ada pemerintahan/kepemimpinan yang berkarakter
baik. Dan tanpa ilmu lingustik maka tidak akan ada komunikasi yang baik
dan benar, sebab semua ilmu tidak bisa menjelaskan bahasa, namun bahasa menjelaskan semua ilmu” Ini jelas bahwa keselarasan dunia pendidikan tidak bisa dibentuk oleh satu ilmu saja
Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa Indonesia kebutuhan ahli medis
di Indonesia meningkat 14% tiap tahunnya sedangkan jumah dokter tidak
memenuhi jumlah minimal. Kementerian Pariwisata mengatakan bahwa
potensi wisata Indonesia yang besar tidak sebanding dengan jumlah Tour
Guide di Indonesia dan ahli antropologi yang dapat menggali
potensi-potensi wisata budaya lainnya. Kementerian Luar Negeri pun
akhir-akhr ini sedang kewalahan karena kekurangan diplomat. Tenaga
Kementerian Tenaga Kerja menyatakan bahwa kebutuhn akuntn public maupun
pernakan Indonesia sangat tinggi sedangkan lulusan SMA IPS dan SMK
Akuntansi semakin berkurang seiring animo masyarakat yang tinggi ke IPA.
Semua itu fakta yang terhimpun dari data-data yang temuat di website
resmi kementerian-kementerian terkait. Dan itu secara jeas membukikan
bahwa semua ilmu itu DIBUTUHKAN.
Saya rasa jangan ada lagi diskriminasi dalam dunia pendidikan.
Merubah pandangan akan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan itu
untuk kesetaraan bukan penindasan. Hal-hal berbau diskriminatif dalam
dunia pendidikan tidak selayaknya dipertahankan dan dibiarkan membudaya.
Hendaknya pelaku pendidikan jangan hanya menjadi penonton, namun giat
dan untuk sebuah reformasi dalam diri sendiri dan bagi lingkungan kita
masing-masing. Maju dunia pendidikan Indonesia. Stop diskriminasi dunia
pendidikan.!!!
Selasa, 09 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar