Mendengar kata “peci” kita bisa mengartikan dua hal, yang pertama
peci yang sering disebut juga kopiah dan peci yang di singkat dari kata
penaraci, sejenis miras (miras) lokal di pulau sumba. Tapi untuk saat
ini kita bukan membahas peci sebagai kopiah tapi lebih kearah peran
“peci” (miras) sebagai alat propaganda yang efektif di kehidupan
bermasyarakat Sumba.
Peci yang di racik dari campuran gula sabu dan akar akaran telah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Sumba, khususnya
Sumba Timur sebagai wilayah penyuplai terbesar jenis minuman keras ini,
hampir di beberapa wilayah di kota Waingapu gampang sekala kita
menemukan kios kios kecil yang menjual peci, walaupun sudah seringkali
di grebek ataupun ditangkap penjualnya tapi peredaran “peci” tetap saja
marak dan mudah didapatkan.
Kegandrungan sebagian masyarakat sumba menikmati “peci” ternyata
dilihat sebagai peluang bagi sekelompok oknum untuk menjadikan peci
sebagai alat propaganda yang efektif khususnya dalam pemilu , pada
pilkada legislatif beberapa waktu lalu “peci” tetap mengambil perannya
yang cukup penting dimana beberapa calon legislatif menjadikannya
senjata. Contohnya ketika di salah satu wilayah di pinggiran waingapu
(maaf tak bisa disebut nama wilayah) salah seorang calon legislatif dari
daerah tersebut tidak memiliki basis pemilih yang kuat, maka metode yng
dipakai adalah menarik salah satu pemuda dari daerah tersebut dan
memberikan modal untuk mengajak sebagian pemuda ataupun segelintir orang
tua untuk menikmati “peci”, sambil menikmati “peci” para pemuda yang
lainnya di doktrin untuk memilih salah satu calon dalam pemilihan
legislatif. Dan sudah bisa di pastikan keuntungan di dapatkan oleh si
calon anggota dewan tersebut. Pada hari pemilihan pemilih “si calon”
melonjak dengan drastis.
Selain menjadi bagian penting dalam proses perpolitikan di sumba
timur, peci juga mengambil penting di bagian lainnya, contoh kasus yaitu
mengenai tender jalan di salah satu desa yang alokasi dananya dari kas
desa, para kontraktor lokal yang masuk dalam pertarungan tender biasanya
sering berkunjung ke beberapa aparatur desa tersebut, dan tak lupa
beberapa liter “peci” katanya “biar ngobrolnya enak” padahal ada udang
di balik batu yaitu dengan harapan mereka yang akan dipilih jadi
pemenang tender.
Dari kedua contoh di atas jelas kita melihat “peci” mengambil peran
yang cukup penting terlepas peci selalu digandeng dengan “uang pelicin”
sebagai teman sejatinya. Yang menjadi pertanyaan apakah kita bisa
menggantungkan harapan pada anggota dewan yang memakai “politik peci”
yang dikategorikan politisi busuk ataukah kita menggantungkan harapan
pada “kontraktor nakal” yang memenangkan tender dari cara kotor.
Semua pertanyaan itu kami kembalikan ke dalam hati nurani para pembaca,
semoga dari tulisan ini kita bisa memahami manajemen strategi para
“politisi busuk”
Selasa, 09 Oktober 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar