Selasa, 09 Oktober 2012

0 Selamat Datang di Sumba yang Ajeb-ajeb



Dua tahun lalu, tepatnya bulan Desember 2009 saya mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu anggota tim survey salah satu pusat studi di kampus saya. Survey ini fokus pada fasilitas pendidikan dan kesehatan di wilayah tengah Indonesia. Wilayah jajahan kami adalah Sumba Timur, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Saya memang punya ekspektasi yang besar untuk perjalanan ini. Terlepas dari antusiasme untuk hengkangnya saya pertama kali dari Pulau Jawa. Yang ada dibayangan adalah alam perawan yang sengaja sudah saya lihat di internet beberapa hari sebelum berangkat.

Perjalanan dimulai dari Jogja-Surabaya-Kupang-Waingapu (Ibukota Kabupaten Sumba Timur). Ketika sampai di Bandar Udara Mau Hau, Waingapu, yang terlihat adalah landasan yang mungkin untuk perhitungan kasar saya, maksimal hanya 2 pesawat yang bisa parkir di situ. Bangunan bandaranya? tak lebih besar dari kantor kelurahan desa saya. Jangan harap anda akan menemukan rel bagasi. Kami setim harus berebut tas ransel kami yang dilempar-lempar begitu saja oleh para petugas bandara dari sebuah lubang yang terhubung dengan bagian luar gedung. Jadi jangan lengah, atau bersiaplah jadi sasaran mendaratnya tas dan koper-koper penumpang lainnya.

Terik panas menyengat dan kering pun menyambut kami ketika keluar dari gedung bandara yang hanya buka 3 hari seminggu ini. Dan disambutkah kami oleh tawaran para sopir taksi. Bukan taksi mobil sedan seperti yang ada di Jawa. Taksi di sini adalah angkot yang penumpangnya duduk berhadap-hadapan. Lengkap dengan musik ajeb-ajeb (house music) yang volumenya cukup untuk membuat body mobil bergetar-getar. Interior taksi pun sangat 'niat'. Lampu-lampu warna-warni yang berkelap-kelip setia mengikuti hentakan musik, dan juga bunga-bunga plastik yang begitu sempatnya dipasang di setiap sudut atapnya. Dan yang terpenting ada tombol bel di atap mobil bagian tengah. Kalau penumpang di Jawa biasa berteriak 'kiri pak!!' saat akan turun, kalau di Sumba, tinggal tekan tombol itu dan berhentilah pak sopir. Lebih praktis saya pikir, daripada harus berteriak-teriak di antara penumpang lain.

Perjalanan dari bandara ke rumah tinggal sementara kami tidak begitu jauh. Hanya ditempuh hanya dalam waktu 15 menit. Keadaan ekologis kota kecil ini tak jauh berbeda dengan kota-kota kecil di Jawa, pikir saya saat itu. Ini baru perkenalan. Jadi penilaian fisik jadi penilaian awal yang dangkal. Jalanan lengang, sesekali yang lewat adalah motor, mobil-mobil besar, dan taksi-taksi lain yang musik ajebnya terdengar sampai di telinga kami. Berhubung taksi ini kami carter, jadi belum ada kesempatan untuk banyak berinteraksi langsung dengan warga asli. Mau ngobrol?sepertinya juga semacam pekerjaan berat kalau dilakukan di tengah-tengah volume musik yang sedasyat ini.

Di Waingapu kami hanya transit, tujuan pertama kami adalah Kecamatan Pinupahar. Kecamatan ini jadi menjadi lokasi pertama karena waktu itu musim kemarau, pas untuk melakukan perjalanan ke sana. Kenapa?Karena kalau musim hujan tiba, kecamatan Pinupahar tidak bisa diakses lagi. Hal ini terjawab ketika esok harinya kami memulai perjalanan dari Waingapu ke Pinupahar.

Kami menyewa satu truk yang bak belakangnya sudah dimodifikasi agar bisa ditumpangi manusia. Ada bangku-bangku yang dipasang agar penumpang bisa menghadap ke muka dan ada atap yang siap melindungi penumpang dari terik dan hujan. Pada bangkunya pun ada bantalan empuk yang siap menyamankan perjalanan yang diperkirakan akan memakan waktu 7 jam ini. Satu lagi yang tidak bisa lepas di alat transportasi umum apapun di Sumba adalah musik ajeb-ajebnya. Truk angkutan massal ini pun dilengkapi dengan layanan musik ajeb komplit dengan layar LCD yang siap menampilkan video klip-video klip musik terbaru. WOw. Dan karena saya duduk di samping pak sopir, saya jadi tau kalau pak sopir memutar lagu-lagunya dari tancapan flash disk miliknya yang berisi ratusan lagu apa aja ada. Dan tentu semuanya adalah versi remix atau house music. Pastilah ajeb-ajeb.

Perjalanan Waingapu-Pinupahar terbukti memang hampir 7 jam bulat. 7 jam pun terasa begitu cepatnya berlalu. Sepanjang perjalanannya kami disuguhi berbagai pemandangan yang sungguh komplit. Mulai dari hamparan perbukitan savana yang rumputnya mengering, lalu masuk ke semak-semak subur, kemudian truk kami pun masuk ke jalur sungai yang kering. Ini dia jawaban kenapa kecamatan Pinupahar terisolir ketika musim hujan tiba. Karena kelokan sungai inilah satu-satunya jalan yang bisa disusuri untuk bisa mencapai kecamatan tanpa listrik ini.
Roda-roda truk sama sekali tak berhasil meredam goncangan ketika berbenturan dengan batu-batu kali yang besar dan utuh. Satu-persatu penumpang yang duduk di bagian belakang, tumbang lemas karena mual. Saya? saya sudah ambil langkah antisipasi minum obat anti mabuk sebelum berangkat. Jadi saya berhasil tetap menikmati goyangan-goyangan hebat badan truk itu sambil terus mengamati pemandangan di sekitar 'jalan' yang tak biasa ini. Hanya sekali kami berpapasan dengan pengendara motor. Bukan motor trill, hanya motor bebek biasa. Jadi siapa yang hebat di sini. Terbukti truk biasa dan motor bebek biasa pun bisa diajak off road sedasyat ini. Yang hebat tentu saja pengendaranya, bisa mengendalikan kendaraan-kendaraan yang diciptakan untuk berjalan di jalan beraspal, bukan di atas tumpukan batu-batu dengan sangat lihainya. Kesimpulannya, apapun akan jadi luar biasa ketika dipegang oleh tangan yang luar biasa juga.
Truk beberapakali oleng terlalu ke kanan atau ke kiri. Setiap saya berpikir kali ini pasti kami akan terguling jatuh, sang sopir langsung membuktikan kehebatannya dengan berhasil menyeimbangkan badan truk kembali. Begitu seterusnya dan sangat seru.

Perjuangan pak sopir tak main-main. Memainkan gagang kopling dengan segenap tenaga, injak pedal kanan lalu pedal kiri, putar stir ke sana kemari. Sungguh bukan sopir biasa.

Pemandangan terakhir yang ingin saya pamerkan adalah pemandangan pertama sejak kami keluar dari jalur sungai. Awalnya badan truk masuk ke semak-semak subur hijau, menembus juntaian pohon-pohon yang melintang di hadapannya. Dan baaAA...terbentang pantai biru maha dasyat. Pantai biru berkilau itu tidak berpasir sama sekali, dan hamparan bebatuan kali jadi penggantinya. Saya tidak bisa menjelaskan kenapa bisa begitu. Kenapa tidak ada karang atau pasir di pinggiran seperti pantai pada umumnya. Gunung-gunung karang kokoh berdiri di tengah laut menantang ombak-ombak besar yang datang. Truk kami sungguhan berjalan melintasi pinggir pantai, ban truk sekali lagi harus beradu dengan hamparan bebatuan. Dan pak sopir sempat bercerita di tengah usahanya menyeimbangkan kendaraannya. Beliau bercerita, jika malam hari dari atas tebing bisa terlihat lampu-lampu dari Benua tetangga, Australia. Luar biasa. Menulisnya saja membuat saya begitu rindu.

Dan tak jauh dari pantai berbatu kali itu, truk akhirnya berhenti di pinggir jalan. Di depan tanah lapang yang di situ berdiri jejeran gubug-gubug dari jerami. Di situlah pasar tradisional digelar seminggu sekali. Dan diseberangnya adalah kantor kecamatan Pinupahar berdiri. Berhalaman seluas lapangan bola, dengan gapura bambu dengan atap jerami. Bangunan kantor kecamatannya sendiri terdiri dari 2 bangunan becat putih dan beratap seng berkarat. Di antara dua gedung berdiri cantik gubug balai-balai bambu yang juga beratap jerami. Dan di sisi baratnya, berdiri rumah dinas Kepala camat dan aparat desa setempat. Sama, bercat putih dan beratap seng berkarat. Selamat datang di Pinupahar :)

http://soulofsukma.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sumba timur bercerita Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates